Home

Sabtu, 07 Agustus 2010

Mati Dengan Tersenyum



oleh: Pemanti Jenar

Jika di Surga orang tidak boleh tertawa, aku tidak mau kesana (Marthin Luther). Di kalangan para sufi ada kisah jenaka tentang kematian. Kurang-lebih begini kisahnya : Sebut saja namanya si Bahlul. Pria berpenyakit jantungan ini berkeyakinan, bahwa jika seseorang ketika menghembuskan nafas terakhirnya bibirnya menyebut nama yang maha kuasa, orang itu otomatis akan masuk Surga. Untuk itu, ia menamai kelima anaknya dengan nama yang maha kuasa. Anak pertamanya dikasih nama Allah, anak kedua dikasih nama Tuhan, anak ketiga dikasih nama Illahi, anak keempat dikasih nama God, anak kelima dikasih nama Gusti. Pikir Bahlul itu merupakan antisipasi yang jitu jika dirinya menghadapi kematian kelak. Bahlul percaya, jika sakratul maut datang, dirinya tentu masih akan ingat dan menyebut nama salah satu anaknya. Dengan menyebut dan memanggil nama anaknya, berarti juga telah menyebut dan memanggil nama yang maha kuasa pula. Dengan begitu, bisa mati ditungguin anaknya sekaligus diterima Tuhan di Surga. Luar-biasa memang taktik-cerdiknya si Bahlul ini.

Alkisah, suatu hari si Bahlul berjalan melintasi kamar pembantunya yang pintunya agak terbuka sedikit. Penasaran, iseng-iseng si Bahlul pun melongokkan kepalanya ke dalam kamar pembantunya yang masih terbilang ABG itu. Dan astaga, ternyata pembantunya dilihatnya lagi berganti baju. Jantung Bahlul pun langsung berdegup dengan kencangnya. Di luar sadarnya, bibir Bahlulpun berujar, "Oh, Inem…………". Dan nyawa Bahlul pun seketika itu melayang.

Kita tidak pernah tahu, Bahlul masuk Surga atau neraka, karena dihembusan nafas terakhirnya bukan menyebut nama Tuhan justru menyebut nama Inem pembantunya. Yang jelas kita tahu adalah, bahwa kematian itu memang seperti maling.

Jika Surga dibayangkan sebagaimana oleh Konsili Florence di tahun 1442, orang seperti Bahlul ataupun seperti saya ini, jelas tidak punya hak untuk punya kavling di Surga. Sebab menurut konsili ini, siapa saja yang berada di luar gereja berarti akan masuk ke dalam api abadi dan tidak akan kebagian hidup kekal. Syukurlah, beberapa abad kemudian lahir konsili Vatika ke 2. Dalam konsili yang baru ini memuat pengakuan, bahwa bukan hanya mereka-mereka yang dibaptis dan taat beribadat di gereja saja yang memperoleh penyelamatan.

Yang jadi pertanyaan disini kemudian adalah, apakah peraturan Tuhan itu menuruti peraturan manusia? Dalam artian mereka-mereka yang telah terlanjur masuk neraka, karena terjaring peraturan dari konsili Florence itu lalu dipindahkan ke Surga karena sudah ada konsili Vatikan ke 2?. Disini saya tidak sedang bermaksud membuat lelucon. Disini saya hanya sedang membuat semacam sketsa tentang polah-tingkah manusia yang seringkali lebih suka mengukuhi hukum-hukum buatan manusia yang kondisional daripada menaati hukum-hukum Allah yang abadi. Lebih takut hukum buatan manusia yang sementara daripada hukum Allah yang kekal.

Seperti kisah tentang seorang penguasa yang d imasa jayanya sangat bergelimang harta-benda. Sangat dikagumi sekaligus ditakuti banyak orang. Sebelum mati, sang penguasa inipun sudah sibuk membuat makam yang sangat indah dan mewah untuk dirinya. Mungkin dia takut kalau cuma dikubur dipemakaman umum kampung yang sederhana, nanti orang-orang tidak mau lagi menghormati- kagumi dirinya? Lucu sekali khan, orang sudah mati (bangkai) masih juga mau minta dipuja-kagumi. Begitulah gambaran orang yang sangat kuat sekali nafsu keduniawianya.

Ayah saya, secara lahiriah bukanlah orang yang terhormat. Beliau hanyalah seorang pegawai kecil di kelurahan. Ayah saya yang bukan orang beragama, suatu hari ditanya oleh teman sekantornya begini, "Orang seperti anda ini (tak beragama) kalau mati mau digimanakan?"

Mendengar pertanyaan seperti itu, ayah saya hanya tersenyum dan dengan santainya menjawab, "Kalau saya mati, ya terserah yang hidup dong. Mau dikubur, dibakar, di mummi, buat makan buaya atau mau diapakan saja terserah yang hidup saya tidak akan protes. Saya khan sudah mati, kalau saya masih minta ini-itu apa nanti tidak akan malah lari ketakutan hahaha………"

"Soal Surga dan neraka?'

"A, itu khan hak prerogatif Tuhan. Tidak bisa dan ada gunanya kita mempersoalkan itu. Biar orang seluruh dunia mendo'a-inginkan si A masuk Neraka, kalau Tuhan menginginkan si A masuk Surga, ya masuk Surga orang itu. Begitupun juga sebaliknya. Jadi soal Surga dan neraka, itu tidak jadi permasalahan bagi saya. Tapi satu hal yang saya yakini benar, bahwa Tuhan itu maha adil. Kita menanam kebaikan akan menuai kebaikan, kita menanam keburukan akan menuai keburukan pula. Jadi yang terpenting buat saya adalah, bagaimana sat hidup ini kita untuk bisa selalu belajar menanam pohon kebaikan. Itu yang terpenting. Soal nanti setelah mati mau dido'ain orang banyak atau tidak, itu juga bukan masalah buat saya. Istilahnya orang mau berpergian, saya sudah siapkan bekal sendiri. Jadi nanti orang lain mau bantuin beri bekal atau tidak itu tidak jadi pemikiran saya. Bahasanya orang Islam, sholatlah sebelum kau disholatkan."

Ketika ayah saya meninggal dunia, karena mayoritas pendudk dan keluarga kami orang Islam, ayah saya pun dikubur dengan prosesi secara Islam. Selama tiga malam berturut-turut diadakan juga do’a tahlillan di rumah kami. Semua prosesi pemakaman ayah saya berjalan lancar tidak kurang sesuatu apapun. Tapi meskipun begitu, toh ada juga seorang warga kampung kami yang berkasak-kusuk ngomong kesana-kemari, bahwa semua do’a-do’a yang dipanjatkan banyak orang pada Tuhan untuk almarhum ayah saya itu semuanya sia-sia dan tak ada gunanya. Tidak akan sampai dan diterima Tuhan, alasannya karena ayah saya bukan orang Islam.

Meskipun sudah naik haji, ilmu agama tetangga saya yang suka berkasak-kusuk ini jelas tak sedalam yang ia bayangkan sendiri. Kalau soal kefanatikannya, jelas hampir seluruh orang kampung mengakuinya. Semua ucapan tetangga saya itu, bagi saya hanya menunjukkan dengan jelas betapa kerdil dan sempitnya wawasan spiritual orang itu. Orang itu berkeyakinan, do'a-do'a agama Islam hanya manjur dan pas untuk orang Islam saja. Sikap seperti itu khan jelas-jelas mengerdilkan ajaran Islam itu sendiri. Dan pandangan yang kerdil seperti itu secara logis tentu karena dilahirkan oleh jiwa yang kerdil pula.
Seperti jadi sekretarisnya Tuhan saja orang itu dengan sedemikian pasti dan tahunya, bisa menunjukkan mana do’a yang diterima dan mana do'a yang tidak diterima oleh Tuhan. Padahal letak singgasana Tuhan itu dimana saja dia tidak tahu. Itu khan kesombongan yang luar–biasa, mengambil alih posisi Tuhan dalam menentukan mana do'a yang pantas diterima dan mana yang tidak diterima. Menurut keyakinan saya, semakin dekat orang itu dengan Tuhan, akan semakin rendah hatti pula orang itu. Lawannya rendah hati adalah sombong. Semakin tinggi kesombongan orang itu, artinya semakin jauh pula orang itu dari Tuhan. Dan semakin jauh orang itu dari Tuhan, secara logis, kemungkinan orang itu salah dalam memandang-menilai Tuhanpun tentu semakin besar.

Harus diakui, kefasihan tetangga saya yang satu ini pada isis kitab suci memang pantas diajungkan jempol. Dan hal itulah yang membuatnya sering mendongakkan kepala, merasa punya kelebihan dibandingkan kebanyakan orang kampong yang tidak bisa baca dan tahu bahasa Arab. "Bahasa Arab itu tidak sembarangan dan bisa buat main-main. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Qur'an." Begitulah biasanya tetangga saya itu untuk mengukuhkan eksisitensi keagamaannya di kampung. Seolah-olah hanya dia saja yang tahu kebenaran dan berhak bicara soal agama.

Sifat dan kelakuan tetangga saya itu jadi mengingatkan saya pada kisah Hasan Al-Basri, ketika beliau mengunjungi Habib Ajmi seorang sufi. Pada waktu sholat, Hasan mendengar Ajmi keliru dalam melafalkan bacaan sholatnya. Oleh karena itu Hasan memutuskan untuk tidak bersholat jama’ah dengan Ajmi. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya sholat bersma orang yang tak fasih mengucapkan bacaan sholat.

Di malam harinya Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara padanya, "Hasan, jika saja kau sholat di belakang Ajmi dan menunaikkan sholatmu, pastilah kau akan dapat ridhoKu. Sholatmu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh sholat dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam bacaan sholat Ajmi, tapi kau tak bisa melihat akan kesucian dan kemurnian hatinya. Aku lebih menyukai hati yang tulus, daripada pengucapan tajwid yang sempurna.

Kisah Hasan Al Basri itu, sekaligus juga mengingatkan saya akan sajak Rumi berikut ini; Aku tidak perlu puja-puji itu, kata Allah/Karena Aku terlampau tinggi/ Hati yang mengucapkan itu yang perlu/Aku tidak perlu kat-kata indah/Aku perlu hati yang penuh perasaan/ Macam-macam cara manusia menunjukkan cara pengabdian mereka padaKu/Asal pengabdiannya itu tulus dan iklas, aku terima, aku terima.

Dalam kisah Cina tua, ada cerita tentang orang yang tidur dan bermimpi melihat seekor kupu-kupu yang sangat indah. Sedemikian nyatanya mimpi itu, hingga ketika terbangun orang itupun jadi bertanya-tanya, "Yang kenyataan sesungguhnya itu ketika aku dalam tidur atau ketika aku terbangun kali ini?"

Menurut Plato, filsuf terkenal yang menerima akan adanya dunia lain, kedamaian abadi hanya bisa tercapai dengan mengarahkan semuanya kepada dunia lain itu. Tubuh adalah penjara dari jiwa dan maut adalah jalan keluar untuk membebaskan diri. Jiwa datang dari tempat yang suci dan masuk dalam tubuh dan diujudkan dalam kelahiran yang kesemuanya itu merupakan peristiwa tidur. Setelah jiwa terpenjara raga, kesadaran hanya sedikit mengisi diri kita dan melupakan keadaan drimana kita berasal. Jadi kematian adalah keadaan bangun atau terjaga untuk kembali ingat aka nasal-muasal kita yang sejati.
Kematian merupakan peristiwa yang akan kita alami semua dan tak mungkin untuk bisa kita hindari, mengingat akan hukum alam akan adanya peristiwa pembentukan dan penghancuran seperti yang kita kenal dengan istilah anabolisme dan katabolisme dalam sel organisme. Secara biologis, kematian merupakan suatu proses penghancuran total secara radikal dari luar yang tak dapat diatasi yang meliputi manusia secara keseluruhan. Sementara dalam kaca mata spiritual, kematian hanyalah akhir hidup di dunia untuk memasuki permulaan hidup abadi dengan terjadinya peristiwa pemisahan jiwa dari raga untuk mempertanggung- jawabkan semua apa-apa yang telah kita lakukan di dunia di hadapan pengadilan Tuhan. Energi psikis tidaklah hilang, tapi beralih ke bentuk lain yang lebih tinggi nilainya.

Menurut teori Libido, manusia itu memiliki enegi cinta-kasih dan vitalitet dalam jumplah tertentu yang dijelmakan dalam bentuk kecintaan pada obyek-obyek yang disenanginya. Maka pada orang yang mau meninggal seringkali kita jumpai bagaimana penderitaan orang itu karena keterikatannya yang kuat dengan obyek libidonya. Memang tidak mudah bagi kita untuk melepaskan apa-apa yang kita senangi itu. Bagaimana harus meninggalkan kekasih yang sangat kita cintai, meninggalkan ana-anak yang sangat kita kasihi, meninggalkan jabatan yang member kebanggan, meninggalkan kekayaan yang member banyak kesenangan dan sebagainya. Karena itulah sejak dini kita harus belajar untuk bisa mengarahkan libido kita ke obyek yang lebih tinggi, yaitu keimanan kita kepada Tuhan. Kepada kesadaran akan kemahaa kekuasaan Tuhan.

Hanya dalam penyerahan diri secara totalitas itu, kita baru akan bisa merasakan ketentraman, ketenangan dan rasa terlindung berada dalam pelukannya yang penuh kasih-sayang itu. Hanya dalam penyerahan diri secara totalitas pada Tuhan seperti itu yang akan membuat kita lapang dada dan tidak takut lagi untuk melewati pintu gerbang kematian. Sebab kita percaya, Tuhan itu melingkupi, ada dan berkuasa baik di alam fana maupun di alam baqa. Jadi kematianpun tidak akan memisahkan kita dari pelindung kita, yaitu Tuhan YME. Dan berada dalam lindunganNya memang tak ada sesuatu apapun yang patut untuk kita takuti lagi.

Tapi jika orientasi kita semata-mata hanya tertuju kepada hal-hal yang bersifat keduniawian belaka, begitu menghadapi kematian seringkali jadi sering kekanak-kanakkan sifatnya, seperti berusaha tawar-menawar dengan Tuhan, dengan segala janji-janji manisnya seperti, saya akan rajin beribadah jika diberi umur panjang, tidak akan berjudi, menyakiti orang, akan suka menolong orang, berderma dan sebagainya. Jika orientasi seseorang pada hal-hal yang bersifat keduniawian sangat besar, kematian memang akan dilihatnya seperti lorong kesepian yang gelap tak berujung dan sangat mengerikan baginya. Kematian memang bisa membuat depresi seseorang yang belum matang secara spiritual.
Bicara tentang kematian, biasanya memang akan tumbuh semacam perasaan yag kurang mengenakkan. Tapi betapapun usaha manusia untuk menolaknya, cepat atau lambat kematian pada saatnya pasti akan menjemput kita semua. Tidak bisa dihindari dan ditolak. Disinilah perlunya kita belajar spiritual, karena semakin matang/dewasa spiritual seseorang, akan semakin lapang dada pula orang itu dalam menerima kenyataan yang ada.

Begitupun dalam menghadapi aneka godaan yang ada dalam kehidupan yang hiruk-pikuk ini. Bagi mereka yang telah matang spiritualnya, tidak akan pernah terpenjara apalagi diperbudak oleh gelimang nikmat duniawi. Seorang pelaku spiritual boleh kaya sekaya-kayanya, pintar sepintar-pintarnya, punya jabatan setinggi-tingginya, boleh punya pengikut sebanyak-banyaknya. Boleh saja seorang spiritualis mereguk kemewahan duniawi, sepanjang hal itu tidak membuatnya lupa pada hal yang paling esensial, yaitu Tuhan YME. Ide dan materi disini tidak dipertentangkan, tapi dilebur dijadikan satu sebagai sarana menuju takwa dan penyerahan diri yang lebih totalitas kepada Tuhan. Bukankah lebih baik jadi spiritualis yang suka menyumbang, daripada jadi spiritualis yang suka mengharapkan dan meminta sumbangan?

Jadi semua apa yang tergelar di dunia ini dipahami hanyalah sebagi alat pembantu perjalanan spiritual kita. Karena memang hanya dengan pemahaman yang demikian, ketika kita harus kehilangan dan cepat atau lambat pasti akan kehilangan segala apa yang ada di dunia ini, kita akan bisa menerima semua itu dengan lapang dada dan penuh keikhlasan. Karena sampai disini kita hanya kehilangan alat bukan tujuan. Dan kehilangan itu sebenarnya juga hanya sebagai penguji kematangan spiritual kita. Semakin matang spiritual kita, semakin tahan kita ketika harus kehilangan. Dalam kaca-mata spiritual, sebenarnya kita tidak akan pernah kehilangan apa-apa. Kita terlahir telanjang matipun telanjang pula. Dan hampir di semua tulisan saya, selalu memberi advis agar kita ini mau belajar bertelanjang diri. Belajar kembali ke titik nol. Karena hanya dengan laku spiritual yang demikian, dalam hidup ini kita tidak akan pernah merasa kehilangan apa-apa, selain hanya kehilangan belenggu-belenggu keduniawiannya. Bahkan puncaknya ketika kita harus kehilangan nyawa sekalipun, kita akan berani hadapi semua itu dengan kelapangan dada bahkan mungkin dengan senyuman kebahagiaan. Bagaimana tidak akan bahagia, bakal kembali ke puncak kesadaran spiritual kita yang paling tinggi. Kembali ke tanah muasal yang suci dimana singgasana Tuhan bertahta.

Dengan sepeda motor bututku, di sebuah lampu merah aku pernah hampir ditabrak konvoi motor besar yang dikawal polisi. Suara dan kecepatan para pengendara moge itu jelas seperti mengintimidasi pengguna jalan lain. Dan setelah aku rasa-rasa, kelakuan para pengendara moge itu sebenarnya tidak ada bedanya dengan para pelaku bom bunuh diri. Keduanya sama-sama telah terjangkiti penyakit "demam tujuan". Hanya bedanya yang satu mau cepat-cepat sampai tujuan dengan mengendarai moge, satunya lagi mau cepat-cepat masuk surga dengan meledakkan diri. Padahal keindahan sebenarnya bukan hanya ada di tempat tujuan. Di sepanjang hari di sepanjang perjalanan, Tuhan juga teramat banyak sekali menciptakan keindahan. Orang yang terjangkiti penyakit demam tujuan adalah orang yang tidak bisa menghargai, mensyukuri dan melihat banyaknya keindahan yang Tuhan ciptakan di sekelilingnya sendiri.

Apabila kau dengan sesungguh hati ingin menangkap haqiqat kematian/Bukalah hatimu selebar-lebarnya bagi ujud kehidupan/Sebab kehidupan dan kematian adalah satu/sebagaiman sungai dan lautan adalah satu (Khalil Gibran).

Jadi saya sendiri terus-terang tidak pernah kagum atau hormat dengan mereka-mereka yang suka menyombong sebagai orang yang berani mati, karena kematian adalah hal yang biasa. Semua orang kelak juga akan mengalami. Apalagi berani mati dengan bunuh diri. Apapun topengnya itu hanyalah tindakan orang yang putus-asa. Saya justru paling kagum dan hormat dengan mereka-mereka yang berani hidup. "Tragedi hidup yang terbesar bukanlah binasanya manusia, melainkan hilangnya rasa cinta dalam diri (WS Maugham). Jadi seperti halnya para pengendara moge dan pelaku bom bunuh diri itu, betapa egois dan hinanya kalian ini, mau mencapai tujuan kesenangan diri tapi dengan berdiri di atas air-mata dan penderitaan orang banyak.

Tuhan memang maha kuasa dan besar. Tetapi karena terlalu mudah dan seringnya konsep tentang Tuhan yang maha besar dan kuasa itu kita teriak-propagandakan, akhirnya konsep itu tinggal jadi ritual yang kehilangan esensinya. Bahkan di televisi aku pernah lihat, orang-orang yang berteriak-teriak menyebut nama besar Allah sambil membubarkan seminar yang diadakan oleh para waria. Seorang teman yang ada di sebelahkupun langsung tertawa lepas sambil berkomentar, "Baru kali ini aku lihat, ada tuhan (dengan t kecil) mengejar-ngejar bencong huahahahaaaaaaaaaa………………."
Konsep tentang Tuhan yang maha kuasa dan besar itu memang benar di satu sisi, tapi di sisi lain juga meracuni orang-orang yang merasa telah dekat Tuhan padahal dirinya hanyalah orang yang gila kuasa dan kebesaran diri belaka. Seperti halnya si Bahlul dan tetangga saya yang fanatic itu, menjadi orang yang sok tahu karena merasa dirinya pintar. Ataupun para pengendara moge dan pelaku bom bunuh diri yang membuat mereka merasa besar/benar, karena itu boleh bertindak sewenang-wenang.

Jadi menurut saya, konsep tentang Tuhan yang maha misterilah saat ini yang mestinya untuk lebih kita yakini dan hayati (kalau untuk diteriak-teriakkan rasanya juga akan janggal dan aneh). Karena dengan konsep ini, kita akan jadi lebih tahu diri dan suka intropeksi. Kita akan lebih terbuka dan toleran. Kita akan lebih suka menghargai siapapun juga, termasuk para bencong. Siapa tahu pemimpin spiritual besar masa depan adalah seorang bencong. Bisa saja, bukankah Tuhan bekerja dengan penuh misteri?

Begitupun halnya dengan kematian, itu adalah misteri dan biarlah tetap jadi misteri. Karena hanya dengan begitu, kita akan jadi lebih suka merendahkan hati dan selalu ingat Illahi. Tapi kalau anda memang merasa sudah pintar dan anda pikir bisa untuk ngadalin Tuhan, ya silahkan anda ikuti ajarannya si Bahlul di atas.

Si bahlul yang cerdik-kreatif adalah lambang otak kanan dan tetanggaku yang fanatik hafal isi satu kitab suci adalah lambang dari kuatnya otak kiri. Jadi kesimpulan saya; Malaikat itu rumahnya di otak kiri dan Iblis itu rumahnya di otak kanan. Sementara tuhan ada di Hati. Maka ketika aku beribadah, sembahyang, sujud, meditasi, berdo'a atau apa saja namanya. Aku istirahatkan kerja kedua sisi otakku itu. Walau itu tidak mudah, tapi begitu bisa kita lakukan, hukum timbal-balikpun akan kita saksikan. Tuahn tidak ada lagi dalam diri kita, tapi kitalah yang ada di dalam diriNya. Dan saat itu, dengan penuh kesadaran karena menyaksikan sendiri, kita akan mengaku, bahwa Tuhan itu memang maha Besar dan maha Kuasa. Dan dialah sang pembimbing kita, bukan lagi otak kanan (Iblis) atau otak kiri (malaikat) yang membimbing kita lagi.

Dengan laku spiritual yang demikian, kematianpun akhirnya akan bisa kita hadapi dengan senyuman, seperti melihat istri yang pagi-pagi sudah mandi keramas. Yah, spiritual memang seperti sex, untuk dilakukan dan dinikmati, bukan hanya untuk diwacanakan apalagi hanya diteriak-teriakkan saja.

dikutip dari milist 'dzikrullah'

4 komentar:

  1. luar biasa kang... tukeran link blog yuk... gimana caranya ya kang...? kunjungi berbagi-beban.blogspot.com

    BalasHapus
  2. aku jg blm tahu cara tukeran blog euy.. wis pokoknya alamat situs kita masukin 'bookmark' aja & sering dikunjungi aja deh :)

    BalasHapus
  3. cara link ke blogroll gampang : di dashboard ada manage links or links categories. Trus input alamat site yang ingin kita link, klo mau dikasi small description juga bisa. Semoga membantu

    BalasHapus
  4. ooo gitu to neng? ok deh ntar kucoba..
    thanks ya.. :)

    BalasHapus